Mendukung dan menyemangati atlet dari negara sendiri memang merupakan sebuah keharusan. Tetapi harusnya hal tersebut tak mengahalangi kita untuk tetap menjunjung tinggi sportivitas.
Banyak cara untuk menunjukkan sportivitas seorang suporter di tribun. Kalau tak ikhlas untuk memberikan aplaus kepada lawan yang meraih kemenangan, setidaknya kita tidak melontarkan cemoohan atau sorakan bernada ejekan.
Namun, kedewasaan semacam itu tampaknya belum dimiliki oleh para penonton yang memenuhi Stadion Akuatik Jakabaring, Rabu (15/11/2011) malam WIB. Dalam babak final enam nomor cabang olahraga renang ini, mereka berulang kali melakukan tindakan yang tak sepatutnya dicontoh.
Saat acara pengalungan medali nomor gaya bebas 100 meter putri, di mana Natthanan Junkrajang jadi juara, announcer meminta penonton untuk berdiri demi menghormati lagu kebangsaan Thailand. Alih-alih mau beranjak dari duduknya, penonton malah gaduh dan sebagian membunyikan terompet. Announcer sampai dua kali meminta penonton untuk berdiri, tapi cuma sedikit yang mengacuhkannya.
Kejadian lebih memprihatinkan terjadi saat acara pengalungan medali nomor gaya dada 200 meter putri, di mana perenang Malaysia Yi Ting Siow mendapatkan emas. Dari awal, announcer sudah meminta penonton untuk berdiri dan tidak berisik.
Namun, seolah-olah sudah direncanakan, hampir seisi stadion malah kompak melontarkan cemoohan saat lagu kebangsaan Malaysia diputar. Sebagian meniup terompet, bahkan ada yang sampai mengucapkan kata-kata kurang pantas seperti "maling" atau "ganyang Malaysia".
Kondisi bertolak belakang tersaji saat perenang tuan rumah, I Gede Siman Sudartawa, naik podium untuk menerima medali emas nomor gaya punggung 50 meter putra. Seisi stadion berdiri dan hampir semuanya ikut bernyanyi saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan.
Bagaimana dengan atlet dan ofisial Malaysia yang tadi menyaksikan lagu kebangsaannya dicemooh? Ternyata, mereka bukan pendendam. Saat Indonesia Raya diputar, mereka menunjukkan sikap sportif dengan tetap berdiri dari duduknya.
Pemandangan seperti ini tentu jadi ironi. Kita berulang kali menggembar-gemborkan pernyataan bahwa kita siap jadi tuan rumah SEA Games, namun ternyata kita belum sepenuhnya siap untuk jadi suporter yang dewasa, berkelas, dan sportif.
Sepertinya penonton kita layak meneladani kejadian di venue sepatu roda, Senin (14/11/2011) lalu. Di final nomor 10.000 meter elimination putri, Indonesia sudah memastikan emas dan perak lewat Ajeng Anindya dan Sylvia. Perunggu direbut Jia Man Carmen Goh dari Singapura.
Saat Ajeng dan Sylvia sudah merayakan kemenangannya, atlet Malaysia Siti Bainurin Abu Hasan yang menempati posisi paling belakang masih berjuang. Dia tertinggal hingga empat lap karena sempat terjatuh di tengah lomba.
Kejadian mengharukan terjadi saat announcer meminta para penonton untuk memberikan dukungan dan semangat untuk Siti. Seketika itu juga, semua orang yang ada di venue memberikan tepuk tangan penyemangat.
Yang makin mengejutkan, dalam acara pengalungan medali, Siti dipanggil naik podium meski tak kebagian medali. Dia dihadiahi maskot SEA Games Modo Modi dan diberi kesempatan untuk berfoto dengan para pemenang. Ini jelas merupakan angin segar dan perilaku luar biasa yang sangat mesti ditiru dan dipelihara.
Dua kejadian di atas memberikan kita pelajaran bahwa olahraga sudah sepatutnya tidak dikeluarkan dari khitahnya dan tidak dicampuradukkan dengan hal-hal lain, termasuk masalah diplomatik antarnegara. Bukannya olahraga itu sendiri bertujuan membangun persahabatan dan sportivitas?
- Detiksport -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar